Beranda | Artikel
Yang Lebih Dulu Duduk, Yang Lebih Berhak
Sabtu, 4 November 2017

 

Yang lebih awal duduk, itulah yang lebih berhak.

 

Kumpulan Hadits Kitab Riyadhush Sholihin karya Imam Nawawi

Bab 129. Adab-adab Kesopanan dalam Majelis dan Teman Duduk

 

Hadits # 825

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : قَال رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( لاَ يُقِيْمَنَّ أَحَدُكُمْ رَجُلاً مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ ، وَلكِنْ تَوَسَّعُوْا وَتَفَسَّحُوْا )) وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا قَامَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لَمْ يَجْلِسْ فِيهِ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang di antara kalian menyuruh berdiri lainnya dari tempat duduknya kemudian ia sendiri duduk di situ. Tetapi berikanlah keluasan tempat serta kelapangan (pada orang lain yang baru datang).” Ibnu Umar apabila ada seorang yang berdiri dari tempat duduknya karena menghormatinya, ia tidak suka duduk di tempat orang tadi itu. (Muttafaq ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6270 dan Muslim, no. 2177]

Faedah hadits:

  1. Diharamkan menyuruh yang lain berdiri dari tempat duduknya lalu yang menyuruh duduk di situ.
  2. Dianjurkan untuk memberikan keluasan ketika duduk dalam majelis.
  3. Jika syariat ini diikuti, umat Islam akan nampak saling mencintai, bukan saling menjauh dan membenci.
  4. Hendaklah bisa mengajarkan pada yang lainnya agar tidak perlu berdiri untuk mempersilakan yang lain yang baru datang untuk duduk di tempatnya.
  5. Di antara bentuk sikap tawadhu’, jika ada yang mengagungkan kita, maka kita menyatakan diri kita biasa (tidak merasa di atas dari yang lain atau merasa istimewa).

 

Hadits # 826

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَجْلِسٍ ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jikalau seorang di antara kalian berdiri dari tempat duduknya, kemudian ia kembali ke situ, maka ia memang lebih berhak untuk menempati tempat duduknya tadi.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 2179]

Faedah hadits:

  • Yang memiliki tempat duduk pertama kali, ia lebih berhak daripada yang lainnya.
  • Jika pemilik tempat duduk itu berdiri karena ada hajat (kebutuhan) lantas ia kembali, maka ia lebih berhak untuk menempati tempat duduk tersebut dibanding yang lain.
  • Semangat Islam untuk memberikan sesuatu sesuai haknya. Hal ini untuk menekan keinginan-keinginan yang tidak benar dan kerusakan di muka bumi.

 

Hadits # 827

وَعَنْ جَابِرٍ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : كُنَّا إِذَا أَتَيْنَا النَّبيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، جَلَسَ أَحَدُنَا حَيْثُ يَنْتَهِي . رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِي ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) .

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Kami apabila mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka setiap dari kami duduk di tempat mana ia berakhir (maksudnya tidak sampai melangkahi bahu orang lain untuk menuju ke tempat yang lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.) [HR. Abu Daud, no. 4825 dan Tirmidzi, no. 2725. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Faedah hadits:

  1. Di antara adab bermajelis adalah duduk di tempat yang terakhir kita dapat (tidak merampas tempat duduk orang lain).
  2. Dalam majelis ilmu punya adab-adab yang perlu diperhatikan.
  3. Boleh jika seseorang melihat masih ada celah yang kosong, ia meminta untuk dirapatkan supaya ada peluang untuk duduk di tempat kosong tadi selama tidak mengganggu yang lain.

 

Hadits # 828

وَعَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ سَلْمَانَ الفَارِسِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – :(( لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَيَتَطهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَينِ ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى )) رَوَاهُ البُخَارِي .

Dari Abu ‘Abdillah yaitu Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan ia bersuci semampunya, juga memakai minyak atau pun mengenakan sesuatu dari minyak wangi yang ada di rumahnya, kemudian ia keluar menuju masjid, lalu ia tidak memisah-misahkan antara dua orang yang sedang duduk, selanjutnya ia melakukan shalat sesuai dengan apa yang ditentukan padanya, kemudian ia mendengarkan imam berkhutbah, melainkan orang yang melakukan semua itu akan mendapatkan pengampunan dosa antara Jumat yang satu dan Jumat berikutnya.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 883]

Faedah hadits:

  1. Dianjurkan untuk bersih-bersih diri dan berhias bagi yang ingin berangkat shalat Jumat.
  2. Disunnahkan memakai minyak wangi dan menjadikannya kebiasaan, juga meletakkannya di rumah.
  3. Dilarang melangkahi orang lain yang sedang duduk pada khutbah Jumat kecuali ingin mencari tempat terdepan yang masih kosong, bisa juga karena adanya imam yang masuk, bisa juga untuk mengisi shaf yang terputus jika yang lain enggan untuk maju mengisi, atau karena ingin kembali ke tempat duduknya karena darurat.
  4. Dianjurkan melaksanakan shalat sunnah sebelum imam naik mimbar. Namun yang dimaksud di sini adalah shalat sunnah mutlak, bukan shalat sunnah qabliyah Jumat.
  5. Boleh shalat sunnah mutlak di tengah siang (saat matahari di atas kepala, padahal waktu terlarang shalat, pen.) pada hari Jumat.
  6. Diperintahkan datang lebih awal ketika menghadiri shalat Jumat. Dan datangnya bukan saat matahari mengalami zawal (tergelincir ke barat), karena imam sendiri naik mimbar ketika sudah masuk zawal. Berarti tidak ada kesempatan banyak shalat sunnah kalau yang dimaksud datang di waktu zawal.
  7. Dihapuskan dosa di antara dua Jumat jika melakukan amalan seperti yang disebutkan dalam hadits.

 

Kaidah Fikih: Yang Lebih Dulu, Yang Lebih Berhak

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan,

أَحَقُّ النَّاسِ بِهَا مَنْ سَبَقَ إِلَيْهَا

“Yang lebih berhak mendapatkan adalah yang lebih dulu meraihnya.” (Syarh Al-Mumthi’, 5: 98).

 

Penerapan Kaidah

1- Jika datang anak kecil lebih dahulu di shaf pertama atau mendapati suatu tempat di Raudhah (di Masjid Nabawi), maka tidak boleh yang datang telat mengusirnya.

2- Tidak boleh bagi seorang muslim sengaja memblok suatu tempat di masjid dan mengklaim bahwa itu adalah tempat yang menjadi kebiasaan ia shalat. Jika ia telat dan tempat tersebut sudah ditempati lainnya, maka yang lebih dulu, itulah yang lebih berhak.

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

  1. Al-Qawa’id wa Adh-Dhowabith Al-Fiqhiyyah ‘inda Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Cetakan tahun 1430 H. Syaikh Turkiy bin ‘Abdillah bin Shalih Al-Maiman. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd. 2:550-556.
  2. Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:101-104.

Disusun di Pesantren Darush Sholihin, Sabtu  sore, 16  Shafar 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/16693-yang-lebih-dulu-duduk-yang-lebih-berhak.html